Book Review “Terasing di Negeri Sendiri”

Bukuterasing

Judul Buku :

TERASING DI NEGERI SENDIRI (Kritik Atas Pengabaian Hak-hak Konstitusional Masyarakat Hutan Register 45 Mesuji, Lampung)

Penulis                         : Oki Hajiansyah Wahab

Jumlah Halaman      : 112 hlm+xxii

Penerbit                       : Indepth Publishing

Tahun Terbit              : 2012 (Cetakan Kedua, November 2012)

“Hukum bukanlah suatu skema yang final, namun dinamis dan terus berubah mengikuti dinamika kehidupan masyarakat. Karenanya, hukum harus terus digali, melalui upaya-upaya progresif untuk mewujudkan keadilan substantif (substantive justice)” [Prof Denny Indrayana, S.H.,L.LM,Ph.D (Guru Besar Hukum Tata Negara UGM)]

Pada awal bab kita disajikan permasalahan-permasalahan agraria kawasan hutan yang sebenarya berasal dari ekses orientasi ekonomi dan kebijakan agraria masa lalu (sejak pemerintahan kolonial hingga Orde Baru sampai saat ini). Konflik berkesinambungan di Register 45 yang menjadi silang sengketa antara investor, masyarakat dan pemerintah disebabkan kebijakan pemerintah yang berubah-ubah, tidak terkoordinasi, minimnya pengawasan, tidak patuhnya investor dalam menjalankan kewajiban , penyalahgunaan izin, dan tersingkirnya masyarakat hingga membuat mereka agresif. Konsekuensinya, hak-hak konstitusional warga secara paksa dihilangkan. Mereka tidak mempunyai KTP dan dokumen-dokumen kependudukan lainnya, kehilangan hak-hak politik dalam pesta demokrasi, dan keterbatasan akses pendidikan dan layanan kesehatan.

Negara sesungguhnya mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, memenuhi, dan memromosikan hak-hak manusia (human rights), terutama hak-hak sipil dan politik. Namun seringkali, implementasi kewajiban negara (obligation of the state) melemah. Sehingga hal itu mengancam penghormatan dan perlindungan hak-hak

“Masalah agraria sepanjang zaman adalah masalah politik. Siapa menguasai tanah, ia menguasai pangan atau ia menguasai sarana-sarana kehidupan! Siapa menguasai sarana-sarana kehidupan, ia menguasai manusia! [Moch Tauchid; 1952]

Buku ini adalah sebagian kecil gugatan Oki atas hilangnya nurani negara di register 45, Mesuji, Lampung. Berdasarkan pengalamannya mendampingi warga yang sampai kini tidak diakui sebagai bagian penduduk Indonesia itu, Oki berusaha mengungkapkan bahwa nasib tragis tersebut akibat bentuk salah urus dan pengingkaran pemerintah terhadap keberadaan warga Moro-Moro.

Setelah membaca buku ini timbul pertanyaan mengenai apa yang menjadi nurani Negara Hukum Indonesia. Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 adalah konstitusi bagi peran dan tanggung jawab negara dalam mewujudkan tujuan nasional. Eksistensi UUD bukan sekedar suatu peraturan biasa yang ditulis di atas kertas, namun merupakan teks moral yang mengandung tata nilai, visi dan kosmologi bangsa Indonesia. Negara hukum yang diatur dalam Pasal 1 ayt (3) UUDNRI tidak hanya berhenti pada tugas-tugas menyelenggarakan berbagai fungsi publik. Negara hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila senantiasa berupaya untuk mewujudkan moral negara yang terkandung dalan staatsidee yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan umum.

Dr Tisnanta SH MHum dalam catatan akhir buku berkata, hidup di atas tanah sengketa bukan berarti hak-hak yang dijamin oleh konstitusi menjadi hilang atau bahkan dikriminalisasikan. Moral Negara Hukum Pancasila harus tetap meletakkan martabat warga negaranya dalam nurani. Pernah mendengar konsep a state with conscience and compassion? jika para petinggi negara memahami konsep itu, maka tidak akan ada lagi warga negara yang terasing di negerinya sendiri.

“The land, the waters, and the narutal resources within shall be under the power of the state and shall be used to the greatest benefit of the people” [Article 33 of 1945 Constitution]

Buku ini menunjukkan kecerdasan masyarakat Moro-Moro yang terus belajar dari keadaan yang mereka hadapi. Tanpa kehadiran negara, mereka menyelenggarakan kebutuhan atas pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, serta berbagai bentuk pelayanan sosial lainnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut mereka bangun atas dasar solidaritas antar warga. Pesan jelas yang dapat dibaca dalam buku ini adalah bahwa kita mempunyai pekerjaan rumah yang sangat berat untuk membumikan nilai kemanusiaan dalam kerangka Negara Hukum Pancasila. Hukum itu tidak bebas-nilai, penegakannya dipengaruhi banyak faktor

“Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum” [Satjipto Rahardjo]

Buku ini memberikan gambaran bahwa sebenarnya warga Moro-Moro tidak merasa bahagia dengan menjadi warga negara Indonesia. Namun mereka menyadari dan memahami bahwa negara bukan satu-satunya faktor yang memberi manfaat bagi warga negara. Nah, kalau sudah begini saya kemudian teringan dengan kasus-kasus lainya. Bagaimana dengan Gerakan Aceh Merdeka (1976-2005), lepasnya Timor-Timur dari Indonesia, konflik perbatasan Indonesia-Malaysia, dan lain sebagainya.

PR kepada pemerintah kita menilik dari buku ini adalah pemerintah seharusnya mengubah paradigmanya dari pro-investasi menjadi pro-rakyat/ pro-populi. Terakhir, teringat kata-kata dari Oki “buku ini sebagai wujud tanggung jawab akademis sehingga ilmu yang didapat bisa menjadi bahan advokasi bagi mereka yang terasing dan tak bisa bersuara”

Tanah airku Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja s’panjang masa
Tanah airku aman dan makmur
Pulau kelapa yang amat subur
Pulau melati pujaan bangsa sejak dulu kala
Melambai-lambai, nyiur di pantai
Berbisik-bisik, Raja K’lana
Memuja pulau, Nan indah permai
Tanah airku Indonesia
                                                                                          “
[Rayuan Pulau Kelapa -Ismail Marzuki (1914-1958)]