Surat Kartini (Tentang Ayahnya) Kepada Stella

Kasihan Ayahku tercinta, ia telah begitu banyak menanggung, dan hidup ini masih jua timpakan kekecewaan – kekecewaan menyedihkan pula kepadanya.

 

Stella, Ayah tiada mempunyai sesuatu terkecuali anak-anaknya, kami inilah segala-galanya baginya, kegembiraannya, penghiburku. Aku mencintai kebebasanku, o, dialah segla-galanya yang kumiliki, dan nasib saudari-saudariku sangat meminta perhatianku; aku rela membantu mereka kuat-kuat, dan siap sedia menyerahkan apapun korban yang dipintanya, agar dapat memperbaiki nasib mereka. Aku pandang menjadi kebahagiaan hidup, bila dapat dan boleh menyerahkan diri seluruhnya buat pekerjaan ini. Namun lebih baik daripada semua itu selurunya ialah Ayahku.

 

Stella, katakanlah aku pengecut, goyah, tapi aku tak dapat berbuat lain; kalau Ayah melarang aku berusaha buat itu, betapapun meraung dan merintih hatiku, aku akan terima larangan itu dengan tawakal! Keberanianku tidaklah cukup, untuk makin melukai, dan makin mendarahkan hatinya, hati yang setia itu, yang begitu menyayangi daku. Hatinya itu sudahlah cukup mendarah karena aku, sekalipun aku tidak berdosa sama sekali.

 

Kau bilang, kau tak dapat mengerti, bahwa orang harus kawin. Selamanya kau pertentangkan “harus” itu denga “aku mau”. Kalau hal itu mengenai orang-orang lai, tentulah aku akan berbuat sebagai kau tapi terhadap Ayah tentulah aku tak bakal bisa lakukan, terutama tidak sekarang ini, karena aku tahu, betapanhebatnya aniaya yang dideritanya. Apa yang aku kerjakan, aku tahu, tidaklah aku pandang sebagai sesuatu yang “harus”, tetapi sebagai sesuatu yang kulakukan dengan sukarela untunknya. Aku mengarang, melukis, dan melakukan semuanya, karena  Ayah suka akan hal itu. Aku akan bekerja keras dan berusaha sebaik-baiknya, membuat kebajikan-kebajikan, karena semua itu menyukakan hatinya.

 

Stella, katakalah aku gila, berlebihan, tapi lain dari itu aku tak bisa. Ayahku begitu cintanya kepadaku! Aku akan sangat berdukacita sekiranya Ayah menentang cita-cita kebebasanku, tapi akan lebih bersedih hati lagi, pabila hasrat paling menyala itu terpenuhi, tapi dalam pada itu kehilangan cinta Ayahku. Ah tidak, aku tak akan kehilangan cintanya, tapi aku dapat menyebabkan hatinya luka. Dari orang lain mungkin ia dapat menderitakan kekecewaan-kekecewaan itu, tapi  kekecewaan dari aku tentulah akan sangat menyiksanya, mungkin karena ia lebih sedikit mencintai aku daripada yang lain-lain. Dan ia begitu aku cintai!

-Surat, 23 Agustus 1900, kepada Estella Zeehandelaar.